galerikotak

koleksi karya abu fadhli

Membangun Ketahanan Nasional Dengan Melindungi Budaya Bangsa

Pendahuluan Dalam perjuangan mencapai tujuannya, bangsa Indonesia senantiasa akan menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG) dari manapun datangnya, baik dari luar maupun dari dalam sehingga diperlukan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional yang disebut Ketahanan Nasional. Bagi bangsa Indonesia, ketahanan nasional dibangun di atas dasar falsafah bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila, selain itu ketahanan nasional juga dibangun sesuai norma UUD 1945, dan Wawasan Nusantara. Oleh karena itu Ketahanan Nasional perlu terus ditingkatkan, dipupuk dan dibina secara terus menerus berdasarkan Wawasan Nusantara melalui pelaksanaan Pembangunan Nasional dalam segenap aspek dan dimensi kehidupan (asta gatra), baik yang bersifat statis yaitu trigatra (Geografi, Demografi, Sumber Kekayaan Alam), maupun yang bersifat dinamis yaitu panca gatra (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Hankam). Ketahanan Sosial Budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan hak atas kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi, dan seimbang, serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Diversitas budaya bangsa Indonesia menjadi sebuah anugerah yang membuat kita terlena. Terlalu nyaman buat kita memiliki keragaman budaya ini. Hingga setelah lagu kita, baju kita, sampai masakan kita diambil orang baru kita menyadari bahwa ternyata kita kaya. Dalam contoh kecil, relatif mudah bagi kita saat ini untuk mendapatkan informasi seputar upaya akuisisi seni pertunjukan Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, alat musik Angklung, masakan Rendang dan berbagai derivat Batik yang didukung secara sadar oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia misalnya, atau pematenan penganan Tempe oleh Institusi riset di Jepang, dan Kopi Gayo oleh oknum warga Negara Belanda, dan seterusnya. Bahkan di dalam negeri, tak pelak lagi diversitas budaya telah membuat kondisi sosial kemasyarakatan kita rentan untuk bercerai berai. Hal ini harus segera kita sadari, dan harus kita yakini bahwa kalau tidak segera ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya maka kita akan sulit berharap tentang Kedaulatan Bangsa ini beberapa tahun mendatang. Belum selesai dengan kasus pengakuan sepihak hasil karya budaya kita oleh pihak asing, ada masalah yang tidak kalah serius yang datang secara laten yaitu gelombang ekspansi budaya asing ke Indonesia seperti budaya modern korea yang disebut Hallyu. Gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita. Dari dua contoh paparan permasalahan budaya Indonesia diatas, maka bagaimana masalah tersebut bisa diselesaikan? Jawaban mudah dari pertanyaan tersebut antara lain adalah dengan melindungi budaya bangsa Indonesia. Kemudian muncul lagi pertanyaan dengan cara bagaimana kita bisa melindungi budaya bangsa? Sehingga dalam makalah ini  akan dibahas tentang bagaimana cara membangun ketahanan budaya bangsa Indonesia dalam rangka membangun ketahanan nasional. Pembahasan

  1. Perlindungan terhadap Kebudayaan Indonesia

Perlindungan terhadap kebudayaan Indonesia memang sangat lemah. Hal tersebut terbukti dari sistem hukum yang mengaturnya. Sistem hukum yang ada belum begitu cukup mengakomodir pelindungan terhadap kebudayaan tradisional. Terlihat misalnya pada minimnya pengaturan tentang perlindungan kebudayan dan kesenian. Satu-satunya undang-undang yang secara langsung mengatur tentang perlindungan kebudayaan adalah Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), itupun belum diatur secara rinci. Jika dilihat dari isinya, UUHC tahun 2002 sebenarnya mengadopsi secara penuh Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) tanpa menambah atau mengurangi apapun di luar yang telah diatur oleh TRIPs. Hal tersebut terlihat jelas dari konsepsi karya cipta yang dilindungi yaitu hanya melindungi karya cipta yang sifatnya individual. Sebenarnya negara anggota, termasuk Indonesia bisa saja menambah rumusan lain terkait dengan hak cipta yang dilindungi, karena TRIPs menentukan norma-norma dan standar substantive minimum mengenai bagaimana perlindungan diberikan dan bagaimana perlindungan tersebut diaplikasikan. Sepanjang tidak bertentangan dengan TRIPs, Negara anggota dapat menerapkan norma-norma atau standar substantive yang melebihi dari yang diharuskan oleh TRIPs dalam hukum nasionalnya. Mengadopsi secara sempurna dari TRIPs untuk Indonesia merupakan keputusan yang kurang tepat, mengingat ketentuan TRIPs lebih mengakomodasi pada negara-negara maju, khususnya barat. Suatu perlindungan HKI, termasuk hak cipta yang dikembangkan pada negara-negara maju menekankan pada kepentingan individu (individualistik), sedangkan pada negara-negara berkembang perlindungan HKI selalu diupayakan untuk tidak mengurangi kepentingan masyarakat. Nilai-nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam bidang ilmu, sastra, maupun seni adalah nilai budaya barat yang menjelma dalam sistem hukumnya. Maka wajar saja kalau konsep HKI TRIPs yang juga diadopsi oleh UUHC 2002 belum mengakomodasi perlindungan terhadap hak milik komunal masyarakat adat tertentu, misalnya terhadap kesenian daerah seperti Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, batik, tari pendet yang belum lama ini sempat diklaim sebagai milik Malaysia. Berbagai budaya dan seni di Indonesia mempunyai latar belakang nilai komunalistik, sementara UUHC 2002 sebagai penjelmaan dari TRIPs lebih individualistik. Selain itu, permasalahan mentalitas masyarakat Indonesia yang lebih suka “mengekor” pada kebudayaan asing daripada kebudayaan bangsa sendiri juga menjadi salah satu penyebab rentannya kebudayaan tradisional kita diklaim oleh bangsa asing. Hal ini sangat berbahaya karena akan dapat mengeliminir kebudayaan asli yang dimiliki oleh bangsa ini yang pada akhirnya ketika kebudayaan itu tidak lagi diperdulikan oleh bangsa ini akan sangat mudah diklaim bangsa asing. Sosiolog Ibnu Khaldun (1967) menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negaranegara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi kebudayaan Indonesia sebagai wujud nasionalisme bangsa bisa ditempuh melalui dua cara yakni melalui langkah hukum dan langkah non hukum. Pembedaan ini dikarekanan faktor penyebab lemahnya perlindungan terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut tidak semata-mata dari aspek hukum saja, tetapi juga terdapat beberapa aspek Non-hukum seperti yang telah diutarakan sebelumnya. a. Upaya Hukum 1. Pembaharuan Legislasi (Peraturan Perundang-Undangan) Pembaruan legislasi atau peraturan ini menjadi penting dalam rangka memproteksi kebudayaan negeri. Adapun beberapa hal yang perlu diperbarui diantaranya: pertama, Konsep perlindungan terhadap karya cipta hendaknya tidak semata-mata mengadopsi ketentuan TRIPs yang individualistik, melainkan juga memperhatikan nilai-nilai komunal masyarakat Indonesia sehingga kebudayaan tradisional yang sifatnya komunal tidak dimiliki oleh individu-individu mendapat perlindungan secara yuridis. Dengan kata lain regulasi mengenai perlindungan karya cipta harus mengatur secara khusus eksistensi cipta secara komunal. Kedua, yaitu dengan memperinci kembali regulasi mengenai perlindungan kebudayaan tradisional, karena sebagainmana disebutkan di atas pengaturannya masih sangat terbatas sehingga tidak bisa dijalankan secara efektif. 2. Inventarisasi Kebudayaan Nasional Inventarisasi atau dokumentasi atas kebudayan nasional merupakan kegiatan pendataan atas suatu kebudayaan tradisional di suatu wilayah, yang dengan adanya data tersebut kebudayaan tradisional suatu masyarakat dapat terinventarisir. Inventarisasi sendiri dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Di antaranya adalah berupa penerbitan inventarisasi pengetahuan yang tertulis (berbentuk buku), atau juga dapat berupa inventarisasi dengan menggunakan database di komputer. Mengingat sebagian besar masyarakat yang mengembangkan kegiatan berdasarkan kebudayaan tradisional ini adalah masyarakat yang masih jauh dari budaya tulis-menulis, maka inventarisasi tidak dapat hanya dengan mengandalkan peran masyarakat lokal. Terlebih lagi masyarakat lokal sendiri tidak terlalu mempedulikan adanya tindakan klaim oleh pihak asing. Karena itu, peran pemerintah sangat penting sekali dalam inventarisasi ini, yang tentunya tidak meninggalkan peran masyarakat lokal selaku informan kebudayaan tradisional. Konkritnya, mestinya pemerintah-lah yang berperan aktif menyelenggarakan kegiatan inventarisasi ini. Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam usaha inventarisasi budaya ini. Sebut saja Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI) yang memprakarsai Perpustakaan Digitan Bidaya Indonesia (PDBI) yang menggunakan domain di internet dengan nama budaya-indonesia.org untuk menginvertarisir berbagai artefak budaya indonesia dan turunannya. Mereka berharap proyek ini mampu mnjadi referensi online dan rumah bagi jutaan artefak Budaya Indonesia. Inventarisasi merupakan salah satu langkah Defensive protection (Perlindungan secara defensif). Defensive protection ini dimaksudkan sebagai upaya agar tidak terjadi penggunaan secara melawan hukum kebudayaan tradisional suatu masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan oleh berbagai negara dan komunitas masyarakat dalam memanfaatkan devensive protection ini adalah dengan membangun database berkaitan dengan kebudayaan negerinya. Sehingga, database ini dapat digunakan sebagai dokumen pembanding (prior art) ketika ada klaim terhadap pengetahuan tradisional yang dimaksud. Dengan demikian adanya inventarisasi atas kebudayaan negeri ini memberikan beberapa keuntungan diantaranya: 1) Inventarisasi setidaknya dapat dijadikan sebagai bukti bahwa suatu kebudayaan tradisional adalah milik bangsa Indonesia, jika itu terdapat di Indonesia. Sehingga, ketika ada pihak asing yang mengklaim kepemilikan kebudayaan tersebut maka pihak Indonesia dapat menyanggahnya dengan menggunakan inventarisasi itu. 2) Inventarisasi dapat dijadikan sebagai dokumen pembanding (prior art) dalam pemberian hak atas setiap kekayaan intelektual. Selama ini, yang lazim terjadi adalah, adanya pembajakan (baca: pencurian) kebudayaan oleh pihak asing yang kemudian didaftarkan sebagai obyek HKI oleh mereka. Pihak Indonesia menjadi kesulitan melakukan penyangkalan kepemilikan atas kebudayaan itu, dikarenakan tidak adanya inventarisasi kebudayaan tradisional di Indonesia. 3) Inventarisasi atas kebudayaan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam perlindungan kebudayaan lebih lanjut. Misalnya adalah dijadikan sebagai dasar dalam pembagian manfaat (benefit sharing) dengan pihak asing yang ingin menggunakan kebudayaan itu. b. Upaya Non-hukum 1. Konsep Expo (expo concept) Selama ini memang tidak banyak pihak yang melirik pelaksanaan konsep pameran ini untuk dijadikan sebagai satu konsep perlindungan terhadap kebudayaan Indonesia, temasuk pemerintah sendiri juga selama ini belum menyentuh konsep ini sebagai satu instrumen dalam rangka melindungi asset-asetnya yang berupa kebudayaan tradisional. Hal ini memang sangat wajar, mengingat banyak kalangan yang belum mengerti tentang efek yang ditimbulkan dari adanya pelaksanaan expo concept dalam upaya perlindungan terhadap kebudayaan tradisional negeri. Di samping itu memang selama ini stigma yang muncul di kalangan masyarakat adalah bahwa konsep pameran hanya merupakan satu bentuk langkah dalam aktivitas ekonomi saja, dimana stigma yang selama ini muncul adalah pameran selalu berhubungan dengan penjualan suatu barang dan tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk keperluan jual beli. Pameran sebagai salah satu upaya perlindungan kebudayaan tradisional menggunakan konsep show off kepada masyarakat. Dengan adanya pameran kebudayaan maka tujuan yang ingin dicapai dalam pameran tersebut adalah bagaimana khalayak ramai akan mempunyai asumsi bahwa apa yang dipamerkan adalah kepunyaan pihak yang memaerkan, karena tidak mungkin misalnya dalam pameran lukisan X yang ditampilkan bukan lukisan yang dibuat oleh X. Sehingga dengan adanya pembentukan asumsi dan upaya show off kepada khalayak bahkan dalam konteks bernegara, maka hal tersebut akan membuka mata dunia pada umumnya dan negara tetangga pada khususnya untuk mengetahui atau bahkan mengakui bahwa negara kita mempunyai bebrapa pengetahuan tradisional yang itu adalah khas sifatnya. Dengan demikian akan sangat sulit untuk bisa melakukan klaim atas kebudayaan tradisional yang kita miliki. Hal ini senada dengan konsep yang diusung oleh hak cipta, bahwa dengan adanya pameran maka bisa dijadikan bukti bahwa apa yang dipamerkan adalah hasil ciptaan dari pencipta sendiri. Karena akan sangat kecil kemungkinan pencipta yang menjiplak ciptaan akan melakukan pameran.Sehingga konsep show off dalam pameranlah yang sebenarnya membantu dalam publikasi kebudayaan tradisional, yang mana efek publikasi inilah yang menjadi penting dalam perlindungan kebudayaan tradisional. Mengingat konsep perlindungan di indonesia adalah first to file yaitu konsep sipakah yang pertama kali melakukan pendaftaran atau inventarisasi dalam kebudayaan tradisional tersebut. Contoh konkrit dari adanya konsep ekspo salah satunya adalah dengan memaksimalkan program pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kebudayaan dengan adanya even Visit Indonesia 2009. Show off atas beberapa hasil kebudayaan tradisional dapat dilakukan dan dimaksimalkan dalam program ini, sehingga mendasarkan pada konsep expo pada dasarnya akan dapat terlihat siapa yang berhak dan bisa dikatakan mempunyai terhadap barang yang dipamerkan tersebut. Program Visit Indonesia 2009 menjadi sarana yang sangat efektif untuk dapat menjalankan dan memaksimalkan konsep expo yang dalam pandangan penulis dapat digunakan sebagai salah satu sarana yang bisa mendukung terhadap konsep perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas kebudayaan tradisonal. 2. Pemberdayaan Kelompok – Kelompok Masyarakat Pengusung Budaya Adat. Pengetahuan tradisional yang sekarang dimiliki oleh Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari kelompok-kelompok masyarakat pengusung adat. Karena pengetahuan tradisional sebenarnya adalah kebudyaan atau pemikiran-pemikiran yang timbul dalam lingkungan mereka. Sehingga peranan kelompok –kelompok masyarakat pengusung budaya adat ini menjadi sangat penting. Akan tetapi permasalahannya adalah kelompok-kelompok masyarakat adat belum banyak memahamai peran penting yang sebenarnya dimilikinya. Sehingga perlu adanya pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat pengusung budaya adat. Karena masyarakat pengusung budaya adat adalah ujung tombak dari perlindungan pengetahuan tradisional yang mereka miliki. Sedangkan pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait dalam hal ini hanyalah pendukung saja. Masyarakat pengusung budaya adat yang menjadi kelompok sentral dalam sudah seharusnya memiliki kesadaran akan kepemilikan budaya dan adat yang dimilikinya. Rasa kepemilikan inilah yang hingga saat ini belum dimilki oleh kebanyakan kelompok masyarakat pengusung budaya adat di Indonesia. Selain rasa kepemilikan, kesadaran kelompok masyarakat pengusung adat tersebut juga perlu disadarkan bahwa apa yang mereka miliki sebenarnya mempunya nilai yang tak terhingga sehingga perlu dijaga. Sehingga yang pertama kali dilakukan sebenarnya adalah melakukan penyadaran dengan cara sosialisasi terkait dengan kepemilikan pengathuan tradisional dan perlindungan pengetahuan tradisioanal. Tentunya penjagaan dan pengelolan ini tidak terlepas juga nantinya peranan dari pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya seperti sentra HKI yang ada. Pemerintah dan sentra HKI mempunyai kewajiban dalam rangka meningkatkan pemahaman dan melakukan pemberdayaan atas masyarakat pengusung budaya adat. Sehingga masyarakat pengusung budaya adat tidak hanya mengetahui bahwa budaya adat yang sekarang adalah miliknya akan tetapi juga mengerti bahwa budaya adat yang dimilikinya tersebut juga perlu dilindungi, baik dilindungi sendiri atau melalui bantuan pemerintah atau lembaga lain seperti sentra HKI. Setelah melakukan penyadaran akan perlindungan budaya adat kepada masyarakat adat pemberdayaan yang selanjutnya adalah pembentukan institusi yang menangani permasalahan perlindungan tersebut ditengah-tengah masyarakat adat. Institusi yang seperti ini sampai sekerang ini dirasa belum ada dalam masyarakat adat, kalaupun ada maka belum banyak dan belum bsia berjalan secara optimal. Sehingga lagi-lagi peran pemerintah dan lembaga-lembaga terkait seperti sentra HKI sangat diperlukan dalam pembentukan institusi yang bersifat profesional, artinya berlaku layaknya institusi yang berprinsip seperti organisasi modern lainnya akan tetapi di isi oleh masyarakat adat dan berada ditengah masyarakat adat.

  1. Membendung arus globalisasi budaya asing

Selama ini, dalam rangka membendung globalisasi budaya asing, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!”,  “Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri. Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Dalam arus globalisasi budaya pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, maka kita harus ikut memberi pengaruh. Karena itu, sudah saatnya bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia. Dalam rangka menjadi bagian dari arus globalisasi budaya, yang harus dilakukan pertama ialah dokumentasi dan inventarisasi budaya nasional sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus ‘menyebarkan’. Hal ini penting dalam rangka melindungi kekayaan budaya Indonesia. Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka yang kedua,  perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survival-nya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia. Ketiga ialah proses ekspansi budaya. Dalam proses ini dimerlukan metode penyebaran yang tepat. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik dimana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Dalam proses ekspansi budaya ini, peran aktif dari media komunikasi massa sangat diperlukan. Industri media massa dituntut kreatif dan aktif dalam mempromosikan budaya nasional baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk pasar dalam negeri peran media penting dalam membangun rasa memiliki suatu budaya bagi bangsa Indonesia. Sedang untuk pasar luar negeri, tugas media sangat vital untuk memperkenalkan, menyebarkan dan memasarkan budaya Indonesia sekaligus membendung arus globalisasi budaya asing. Industri media massa tidak harus menuruti apa yang menjadi kemauan pasar demi memperoleh keuntungan besar semata tetapi juga harus mampu memainkan program coorporate social reponsibility (CSR) dalam rangka memihak pada kelangsungan budaya nasional. Industri media massa baik cetak maupun elektronik, media audio, visual maupun audio visual dituntut untuk dapat menjawab tantangan ini. Media audio visual merupakan media yang memiliki peluang yang besar untuk mengambil tantangan ini. Televisi sebagai bagian dari media audio visual berpeluang besar untuk menunjukan jiwa nasionalisme dengan memihak budaya nasional. Banyak acara di televisi yang bisa dikemas sedemikian rupa sehingga budaya nasional mendapat porsi yang cukup untuk dapat dimiliki oleh bangsa sendiri dan dikenal bahkan mempengaruhi bangsa lain. Program-program talk show, music performance, got talent program dan komedi merupakan salah satu contoh program televisi yang dapat dikemas dengan berpihak pada budaya nasional. Selain televisi, industri film juga dapat berperan sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang dimaksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda. Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Sebagai contoh, di dalam sebuah kelompok masyarakat kampus terdapat klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan Jdorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain. Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat. Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas yang terakhir atau yang keempat adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana. Kesimpulan

  1. Terdapat permasalahan serius dalam kasus pengakuan sepihak Budaya Indonesia oleh pihak asing dan gelombang ekspansi budaya asing ke Indonesia yang harus segera diatasi dengan cara melindungi Budaya Bangsa Indonesia untuk membangun ketahanan nasional.
  2. Cara untuk melindungi Budaya Indonesia dari pengakuan pihak asing ada 2 konsep upaya yaitu pertama dari aspek hukum dengan pembaharuan hukum dan inventarisasi Budaya Indonesia serta kedua dari aspek non hukum dengan mengadakan expo dan pemberdayaan masyarakat pengusung budaya.
  3. Cara untuk membendung arus globalisasi budaya asing adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri dan bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.

Refensi Rujukan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) Agus Sardjono. 2004. Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-obatan. Jakarta: Program Pascasarjana FH UI. Beberapa Kebudayaan Indonesia yang diklaim Malaysia, dalam http://www.malingsia.com/2009/08/beberapa-kebudayaan-indonesia-yg-diklaim-malaysia/,.

Edi Santosa, 2009, Membangun ketahanan sosial budaya guna meningkatkan ketahanan nasional, Makalah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta

Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e M. Imam Nasef. 2009. Tunjukkan rasa nasionalisme, lindungi kebudayaan tradisional!, Makalah Miranda Risang Ayu. 2003. Hak Cipta Komunal. Bandung: Fakultas Hukum UNPAD. Salman Luthan. Delik Hak Cipta. Makalah diskusi Jurusan Hukum Pidana FH UII, Yogyakarta. Sidiq Maulana Muda. 2009. Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia, Makalah. Tim Lindsey (ed). 2005. Hak Kekayaan Intelektual; Suatu Pengantar.. Bandung: Asian Law Group Pty Ltd & P.T. Alumni. Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates Trisno Raharjo. 2006. Kebijakan Legislatif Dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Dengan Sarana Penal. Yogyakarta: Penerbit Kantor Hukum Trisno Raharjo. karya : promed d1 2010; irfan; aguscool; gugun, lazybearyudho…

No comments yet»

Leave a comment